• Breaking News

    Just Share... bukan bermaksud menggurui ataupun sok suci hanya ingin berbagi.....

    Test Footer

    Sabtu, 05 Januari 2013

    sejarah UN dan problematikanya


    Sejarah Ujian Nasional dan Problematikanya


    logo.jpg















    BAB  I
    PENDAHULUAN


    A.      Latar Belakang
    Dengan semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan pesatnya kemajuan teknologi serta besarnya tuntutan manusia akan pendidikan. Di perlukan suatu pendidikan yang dapat memenuhi tuntukan masyarakat, yang dapat menjadikan kehidupan masyarakat tersebut menjadi lebih baik.
    Dengan beragam dan kompleksifitas ilmu pengetahuan yang di ajarkan kepada peserta didik. di butuhkan suatu alat evaluasi yang dapat mengukur seberapa jauh tujuan pendidikan yang diharapkan itu tercapai.
    Nah alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan di Indonesia ini salah satunya dengan menggunakan Ujian Nasional. Berkenaan dengan itu maka kami Dalam makalah ini akan menjelaskan hal-hal yang berkenaan dan yang berkaitan dengan Ujian Nasional. 

    B.       Rumusan Masalah
    1.      Apakah Ujian Nasional itu?
    2.      Bagaimana sejarah adanya Ujian Nasional?
    3.      Bagaimanakah perkembangan Ujian Nasional?
    4.      Permasalahan Apa Sajakah yang terjadi dengan adanya Ujian Nasional?



    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.    PENGERTIAN DAN SEJARAH UJIAN NASIONAL
    Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 19 dijelaskan bahwa “Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapain kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
    Sedangkan pengertian ujian nasional berdasarkan PP No 19 tahun 2005 Pasal 63 ayat 1 butir c yaitu penilaian hasil belajar yang dilakukan pemerintah. Yang kemudian diperjelas dalam pasal 66 ayat 1 bahwa penilain hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 1 butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara Nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Pemerintah yang dimaksud diatas adalah pemerintah pusat.
    Ujian nasional biasa disingkat UN yaitu sistem evaluasi dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan.Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara Nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
    Evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematis untuk menilai pencapain standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan. Proses pemantauan evaluasi dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya dapat membenahi mutu pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar pendidikan.
    Penentuan standar pendidikan yaitu penentuan nilai batas. Seseorang dikatakan sudah lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standar setting. Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorog peningkatan mutu pendidikan.
    Perkembangan UN dari zaman ke zaman di Indonesia mengalami banyak metamorfosa. Telah beberapa kali diganti formatnya, seperti yang akan dibahas dibawah ini :
    1. Tahun 1965-1971
      Pada tahun itu, sistem ujian dinamakan sebagai Ujian Negara. Hampir berlaku untuk semua mata pelajaran, semua jenjang yang ada di Indonesia, yang berada pada satu kebijakan pemerintah pusat.
    2. Tahun 1972-1979
      Pada tahun itu, Ujian Negara ditiadakan, lalu dirubahmenjadi Ujian sekolah. Sehingga, sekolah lah yang menyelenggarakan ujian sendiri. Semuanya diserahkan kepada sekolah, sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan umum terkait dengan ujian yang akan dilaksanakan oleh pihak sekolah.
    3. Tahun 1980-2000
      Pada tahun itu, untuk mengendalikan, mengevaluasi, dan mengembangkan mutu pendidikan, Ujian sekolah diganti lagi menjadi Evaluasi Belajat Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS ini, dikembangkan perangkat ujian paralale untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan yang menyelenggarakan dan monitoring soal dilaksanakan oleh daerah masing-masing.
    4. Tahun 2001-2004
      Pada tahun itu, EBTANAS diganti lagi menjadi Ujian Akhir Nasional (UNAS). Hal yang menonjol dalam peralihan dari EBTANAS  menjadi UNAS adalah  dalam penentuan kelulusan siswa, yaitu ketika masih menganut sistem Ebtanas kelulusan berdasarkan nilai 2 semester raport terakhir dan nilai EBTANAS murni, sedangkan dalam kelulusan UNAS ditentukan oleh mata pelajaran secara individual.
    5. Tahun 2005-2009
      Terjadi perubahan sistem yaitu pada target wajib belajar pendidikan (SD/MI/SD-LB/MTs/SMP/SMP-LB/SMA/MA/SMK/SMA-LB) sehingga nilai kelulusan ada target minimal.
    6. Tahun 2010  -  sekarang
      UNAS diganti menjadi Ujian Nasional (UN). Untuk UN tahun 2012, ada ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus UN tahap pertama. Dengan target, siswa yang melaksanakan UN dapat mencapai nilai standar minimal UN sehingga mendapatkan lulusan UN dengan baik.
    Berikut diatas adalah beberapa perubahan dari masa ke masa jati diri UN di Indonesia.Dibalik banyaknya perubahan, semua hal tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.Karena UN sampai saat ini menjadi faktor yang menjadi tolak ukur keberhasilan dari suatu jenjang pendidikan, terlepas dari beberapa hal yang menjadi kekurangan dari sistem UN tersebut.
    B.     TUJUAN UJIAN NASIONAL
    Tujuan pokok penyelenggaraan ujian nasional yaitu, untuk mengukur hasil pencapaian hasil belajar peserta didik; untuk mengukur tingkat pendidikan pada timgkat nasional, provinsi, kabupaten dan sekolah; untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan.
    Dalam SK tersebut pasal 3 juga dikemukakan fungsi UN sebagai berikut:
    1.      Alat pengendali mutu pendidikan secaa nasional.mwlalui penyelenggaraan UN diharapkan mutu pendidikan nasional dapat dikendalikan. UN tidak dapat digunakan sebagai pengelompokkan sekolah bermutu dan sekolah yang kurang bermutu, karena akan semakin memperlebar jurang pemisah mutu sekolah yang secara nasional memang rentang variasi mutu sekolah ini sudah sangat panjang.
    2.      Mendorong peningkatan mutu pendidikan. Penyelenggaraan UN diharapkan dapat memotivasi kolah untu menigkatkan mutu pembelajaran dan usaha untuk mencapai hasil UN secara optimal.
    3.      Bahan pertimbangan untuk menentukan tamat belajar dan redikat prestasi peserta didik. UN dijadikan bahan pertimbangan penentuan kelulusan dan penentuan predikat prestasi peserta didik. UN menjadi kriteria yang akurat dan berlaku nasional untuk menentukan predikat dan prestasi peserta didik.
    4.      Pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan tinggi. Butir-butir soal UN sudah disusun untuk mampu membedakan antar peserta didik yang telah memenuhi standar kompetensi dengan peserta didik yang belum memenuhi standar kompetensi. Dengan demikian akan sangat tepat bila digunakan juga untuk mengetahui potensi calon peserta didik untuk mengikuti pembelajaran di sekolah yang dipilihnya.

    C.     POBLEMATIKA UJIAN NASIONAL
    Sebagaimana dalam penyelenggaraan EBTANAS, maka dalam penyelenggaran UN mendapat kritikan dari berbagai kalangan masyarakat antara lain ;
    1.         Sebagian besar anggota legislatif (DPR RI) sangat keberatan terhadap pelaksanaan UN, karena usulan anggaran UN terlalu besar dan menghambur-hamburkan biaya. Permasalahn ini memang bersifat administrative, tetapi justru hal ini menunjukan bahwa konsep UN terlalu melambung dan tidak fokus, serta strategi pelaksanaan UN yang tidak praktis. Akibatnya pos anggaran UN terlalu melebar dan besar.
    2.         Dalam UU No 20 tahu 2003 tentang SISDIKNAS Bab XVI bagian ke satu Pasal 58 ayat 1 dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, sedangkan UN dilaksanakan oleh pemerintah melalui Direktorat jenderal Pendidikan Dasar dan Menegah. Dengan demikian UN dianggap bertentangan Undang-Undang tersebut diatas. Pelaksanaan UN juga belum mempunyai landasan hokum yang kuat, karena peraturan pemerintah yang mengatur hal   tersebut belum ditertibkan.
    3.         Sebenarnya, keinginan Pemerintah untuk melakukan UN boleh-boleh saja dan disambut positif oleh masyarakat, tetapi fungsinya bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari program dan atau satuan pendidikan atau juga sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, melainkan untuk memperbaiki system pendidikan dasar dan menengah secara nasional, pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan, memotivasi kepala sekolah, pendidik, peserta didik dan orang tua dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran.
    4.           Sistem konversi skor yang digunakan dalam pelaksanaan UN dianggap merugikan peserta didik, karena memotong skor anak pandai untuk diberikan kepada peserta didikyang kurang pandai.

    Berdasarkan kritikan-kritikan tersebut, maka Merdapi dalam Endang Purwanti mengemukakan hasil penelitiannnya tentang kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk penyempurnaan pelaksanaan UN, diantaranya :
    1.                  Dalam penyelenggaraan UN hendaknya :
    a.    Mengikutsertakan daerah dalam penyusunan soal
    b.    Biaya ujian sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah
    c.    Peningkatan kualitas soal
    d.   Peningkatan objektivitas sistem skoring
    e.    Peningkatan keamanan soal
    f.     Pengaman dan koreksi silang antar sekolah yang setingkat
    g.    Pengiriman hasil UN segera mungkin
    h.    Pemenuhan fasilitas minimum dalam penyelenggaraan UN
    2.                  Diperlukan adaya pelatihan penyusunan soal bagi guru daerah untuk meningkatkan kualitas soal ujian.
    3.                  Perlunya inovasi dalam pembelajaran dengan menggunakan berbagai media untuk meningkatkan motivasi dan minat siswa dalam mempelajari materi yang dianggap paling sulit.
    4.                  Analisis UN secara terperinci sesegera mungkin disampaikan ke ekolah agar informasi tentang pokok bahasab atau materi yang sulit dapat diketahui pihak sekolah dan para guru dapat mengambil strategi untuk mengatasinya.
    5.                  Sosialisasi dan informasi UN perlu dilakukan seawal mungkin yang meliputi kisi-kisi ujian (standar Kompetensi lulusan), bentuk soal ujian, proses penskoran, criteria kelulusannya sehingga sekolah maupun siswa dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi UN.
    6.                  Pemerintah perlumembantu fasilitas dan peralatan yang memadai dalam pelaksanaan ujian sehingga mata pelajaran yang memerlukan media tertentu dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan UN.

    D.    KETIDAKADILAN DALAM UJIAN NASIONAL

    Ujian Nasional (UN) menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 pasal 4, dijadikan pertimbangan untuk :
    a)                        Penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan,
    b)                       Seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya,
    c)                        Pemetaan mutu satuan dan atau program pendidikan,
    d)                       Akreditasi satuan pendidikan, dan
    e)                        Pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam upara peningkatan mutu pendidikan.
    Sebuah hal yang tidak ideal dalam dunia pendidikan. UN ternyata menyisakan sejumlah permasalahan. Tahun lalu, seorang guru disekolah SMK di Cilegon harus berbuat hal yang sebaiknya tidak perlu dilakukan, yaitu memukul peserta didiknya hingga babak belur. Hal ini dilakukan karena rasa jengkel sang guru terhadap peserta didiknya. Sudah dibantu menyelesaikan soal ujian, malah tidak menunjukan niatan yang baik (terima kasih). Seoran guru di Cilegon tersebut membantu peserta didiknya agar dapat lulus dengan nilai baik. Akan tetapi, cara yang dilakukan keliru. Ia mengirimkan sejumlah jawaban soal via SMS atau potongan kertas kecil yang dibagikan kepada peserta didik.
    Mengapa pahlawan tanpa tanda jasa tersebut melakukan hal demikian? Hal ini dikarenakan ketakutan sang guru ketika banyak peserta didiknya tidak lulus ujian. Seorang guru dituntut sedemikian rupa agar seluruh peserta didiknya lulus 100%. Ketika banyak peserta didik tidak lulus, ia pun akan merasa malu. Pada akhirnya, reputasi sekolah menurun dan tahun depan sekolah tidak akan mendapatkan peserta didik baru. Intinya, kelulusan 100% menjadi patokan baku bagi tiap sekolah. Bahkan isu pemutasian guru dan kepala sekolah mengiringi peristiwa ini.
    UN juga meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi peserta didik. Beberapa tahun yang lalu, sebuah Sekolah Dasar di Kebumen Jawa Tengah hanya mampu meluluskan enam orang peserta didiknya dari 38 peserta didik. Tahun berikutnya, sekolah tersebut tidak mampu meluluskan satu pun peserta didik. Apa yang terjadi? Banyak anak usia produktif sekolah terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Mereka banyak memilih sawah sebagai ladang belajarnya. Bahkan dalam sebuah buku kenang- kenangan, seorang peserta didik menuliskan cita-citanya ingin menjadi “tukang mencari rumput yang handal”. Sungguh menyedihkan.
    Sistem pendidikan Indonesia ternyata masih mengunggulkan kecerdasan intelektual (IQ). Tidak ada sedikitpun tempat (ruang) untuk kecerdasan-kecerdasan yang lain untuk menjadi npenentu kecerdasan seseorang. Karena itu, tidak aneh jika sekarang banyak peserta didik yang mengalami depresi berat. Hal ini dikarenakan mereka dianggap bodoh dan tidak mampu lagi melanjutkan sekolah kejenjang berikutnya.
    Akibat memikirkan UN dan persiapan menghadapi UN, seorang peserta didik Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, mengalami depresi. Ia hampir tiga minggu tidak masuk sekolah. Ketika masuk sekolah, ia hanya menyalami beberapa guru dan teman-teman  sekelas dan kemudian pulan kerumah.
    Betapa tidak, mulai awal tahun, sekolahnya mengadakan  jam tambahan belajar. Setiap hari selasa dan sabtu diadakan simulasi menghadapi UN. Bahkan, peserta didik kelas XII (III SMA) diwajibkan mengikuti jam tambahan disekolah penuh selama dua minggu da tidak diperkenankan pulang. Setelah itu, mereka akan menghadapi UN sesungguhnya. Rasanya belum lepas rasa penat, mereka diwajibkan mengikuti ujian sekolah (praktik dan teori).[1]
    Pemerintah dengan sengaja membiarkan generasi muda produktif bangsa Indonesia menjadi layu sebelum berkembang. Cita-cita besar membangun bangsa Indonesia kandas dikarenakan sistem UN yang tidak memihak.
    UN juga telah mencabut kedaulatan guru. Artinya, guru sebagai orang yang mendidik selama sekian tahun tidak diberi kekuasaan untuk menilai peserta didiknya. Kekuasaan dan kewenangan menyatakan peserta didik lulus atau tidak berada ditangan pemerintah. Seorang guru yang telah bergelut lama dengan peserta didik hanya dapat menahan kesedihan melihat banyak peserta didiknya tidak lulus sekolah.
    Guru tidak lebih seperti pekerja kasar. Mereka dipekerjakan tanpa memperdulikan hak-haknya. Jerih payah (pendidikan) yang dilakukan selama ini ditentuka dalam tiga hari. Ketika banyak peserta didik yang tidak lulus, mereka akan divonis tidak mampu mengantarkan peserta didiknya menjadi insan cerdas.
    Ketidakadilan UN semakin menambaha deretan persoalan pendidikan Indonesia. kebijakan pendidikan selalu berubah ketika para pemimpinnya diganti. Belum lagi sekolah-sekolah yang rusak dan hampir roboh, kesejahteraan guru yang memprihatinkan, dan seterusnya.
    Pemerintah sudah saatnya memikirkan hal lain yang lebih bermakna, yaitu bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan mutu guru, memperbaiki sekolah rusak, dan menjadikan pendidikan Indonesia lebih bermakna dari sekadar mengukurnya dengan nilai-nilai dalam bentuk angka.
    E.     MENGGUGAT UJIAN NASIONAL[2]
    Sebagian pemerhati dan pengamat pendidikan berpendapat bahwa sistem UN tidak memanusiakan manusia, tidak sesuai dengan khittah pendidikan dan mematikan daya nalar peserta didik. Peserta didik dipaksa mengikuti aturan pemerintah yang jauh dari realitas pendidikan. Pendidikan yang merupakan sebuah proses mulia, yang berusaha memanusiakan manusia (freire), pengangkatan manusia muda ke taraf insani (Driyarkara), dan pemerdekaan (Romo Mangun) tidak menjadi dasar pijakan pengambilan kebijakan pemerintah. Pemerintah lebih mementingkan hasil daripada proses. Pemerintah merasa bangga mampu meluluskan peserta didik dengan nilai rata-rata 5,25 daripada melihat peserta didik mandiri dan mampu berkarya sesuai potensi yang dimiliki.
    Pendek kata, UN yang telah banyak merampas hajat hidup orang banyak. Karena tidak lulus UN, seseorang bisa minder dan bahkan ada yang bunuh diri, sebagaimana yang terjadi di Bali dan Sragen Jawa Tengah pada tahun 2007. Karena UN, guru dan pihak sekolah menjadi “pecundang” dengan memberikan jawaban soal kepada peserta didiknya. Karena UN pula, kepala sekolah dimutasi dan pensiun dini. Dan masih banyak lagi hal negatif lainnya. Karena itu, setelah melihat realitas yang demikian pemerintah perlu memikirka formula yang tepat bagi pengganti UN. Apabila tidak ada formula yang tepat untuk mengganti kebijakan UN, langkah yang paling mudah adalah ditiadakannya UN. Biarkan proses belajar mengajar di sekolah “dinilai”  oleh guru yang selalu mendampingi dan mendidiknya. Pekerjaan pemerintah sekarang adalah bagaimana menyejahterakan guru, tanpa harus melalui prosedur yang ndakik ndakik .[3]
    Dan Salah satu kritik penting terhadap UN adalah bahwa ia tak bisa di jadikan tolak ukur ketercapaian sasaran pendidikan oleh sedikitnya dua sebab. Pertama, assessment seharusnya didasar kan pada system assessment autentik yang melibatkan system assessment portofolio, dan bukan merupakan alat ukur tunggal yang diambil sekali saja. System portofolio, selain lebih representative dan adil terhadap prestasi sesungguhnya siswa-karena di ambil secara berkelanjutan selama siswa masih aktif sekolah- juga sesuai dengan prinsip kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Selain itu, ia juga harus menggarap ketiga ranah pendidikan- yakni bukan hanya kognitif, melainkan juga afektif (sikap), dan psikomotorik (praktik). Kedua, materi ujian nasional selama ini tidak mencerminkan sasaran pendidikan yang sesungguhnya, bahkan pun jika kita mangacu kepada kurikulum nasional.
    Maka baik buruknya system pendidikan kita tidak boleh dinilai dari sekadarnilai beberapa mata pelajaran yang di UN kan. Melainkan harus dilihat dalam prespektif yang lebih luas. Demikian pula perbaikan yang perlu dilakukan tak boleh hanya sebatas upaya-upaya mengejar standar nilai mata pelajaran-mata pelajaran tersebut- betapapun tinggi nantinya standar itu dipatok-melainkan dengan aspek-aspek yang jauh lebih kompleks. Hal ini sejalan dengan kompleksifitas manusia itu sendiri.
    Memang tak mungkin pencapaian manusia manusia di ukur sekedar melalui aspek-aspek amat terbatas seperti yang terkandung dalam pelajaran matematika, IPA, IPS, dan bahasa inggris saja. Apalagi mengukurnya pun hanya menggunakan pengukuran yang bersifat kuantitatif dan statistikal belaka. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa mata pelajaran-mata pelajaran tersebut tidak penting, tapi itu semua tidak mencukupi bagi membekali manusia-manusia Indonesia untuk hidup sejahtera. Bahkan jika hendak bersikap lebih teliti, untuk mampu berkompetisi secara ekonomi dengan bangsa lain di butuhkan pula kemampuan-kemampuan lain, termasuk kreativitas, kemampuan intrapersonal dan interpersonal, leadership, integritas, dan berbagai kemampuan dan sikap lainnya.[4]





    BAB III
    PENUTUP

    Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terdapat penjelasan mengenai kompetensi lulusan dalam standar nasional pendidikan Indonesia. Hal tersebut lebih diperjelas lagi dalam PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 25 ayat 4 yang menyatakan bahwa kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Namun realitanya, ujian nasional dari tahun ke tahun hanya mengukur satu aspek  kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Padahal, menurut pasal 57 ayat 2 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.



    DAFTAR PUSTAKA

    Setiawan, Benni. Agenda pendidikan Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
    Anita Lie dkk. Menggugat Ujian Nasional. Jakarta: Teraju, 2007
    Arifin, Zainal. Standar Penilaian Dalam Perspektif Standar Nasional Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya, 2009




    [1] Zainal Arifin. Standar penilaian dalam perspektif standar nasional pendidikan. PT Remaja Rosdakarya hal 62-64
    [2] Judul sebuah buku tulisan Anita Lie terbitan Teraju, Jakarta 2007
    [3] Setiawan, Benni. Agenda pendidikan Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008 hal 146-148

    [4] Anita Lie dkk. Menggugat Ujian Nasional. Jakarta: Teraju, 2007 hal 31-33

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Beauty

    Fashion

    Flag Counter

    Test Footer

    Travel