Sejarah
Ujian Nasional dan Problematikanya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dengan semakin
pesatnya ilmu pengetahuan dan pesatnya kemajuan teknologi serta besarnya
tuntutan manusia akan pendidikan. Di perlukan suatu pendidikan yang dapat
memenuhi tuntukan masyarakat, yang dapat menjadikan kehidupan masyarakat
tersebut menjadi lebih baik.
Dengan beragam
dan kompleksifitas ilmu pengetahuan yang di ajarkan kepada peserta didik. di
butuhkan suatu alat evaluasi yang dapat mengukur seberapa jauh tujuan
pendidikan yang diharapkan itu tercapai.
Nah alat
evaluasi yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan di Indonesia
ini salah satunya dengan menggunakan Ujian Nasional. Berkenaan dengan itu maka
kami Dalam makalah ini akan menjelaskan hal-hal yang berkenaan dan yang
berkaitan dengan Ujian Nasional.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
Ujian Nasional itu?
2. Bagaimana
sejarah adanya Ujian Nasional?
3. Bagaimanakah
perkembangan Ujian Nasional?
4. Permasalahan
Apa Sajakah yang terjadi dengan adanya Ujian Nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
DAN SEJARAH UJIAN NASIONAL
Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I
ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 19 dijelaskan bahwa “Ujian adalah kegiatan yang
dilakukan untuk mengukur pencapain kompetensi peserta didik sebagai pengakuan
prestasi belajar atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
Sedangkan pengertian ujian nasional
berdasarkan PP No 19 tahun 2005 Pasal 63 ayat 1 butir c yaitu penilaian hasil
belajar yang dilakukan pemerintah. Yang kemudian
diperjelas dalam pasal 66 ayat 1 bahwa penilain hasil belajar sebagaimana dimaksud
dalam pasal 63 ayat 1 butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi
lulusan secara Nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
Pemerintah yang dimaksud diatas adalah pemerintah pusat.
Ujian nasional biasa disingkat UN
yaitu sistem evaluasi dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang
dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan.Depdiknas di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka
pengendalian mutu pendidikan secara Nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Evaluasi dilakukan oleh lembaga yang
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematis untuk menilai
pencapain standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi harus
dilakukan secara berkesinambungan. Proses pemantauan evaluasi dilakukan secara
terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya dapat membenahi mutu
pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar
pendidikan.
Penentuan standar pendidikan yaitu
penentuan nilai batas. Seseorang dikatakan sudah lulus atau kompeten bila telah
melewati nilai batas berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah
menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai
kompetensi. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas
berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus
disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standar
setting. Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorog
peningkatan mutu pendidikan.
Perkembangan UN
dari zaman ke zaman di Indonesia mengalami banyak metamorfosa. Telah beberapa
kali diganti formatnya, seperti yang akan dibahas dibawah ini :
- Tahun 1965-1971
Pada tahun itu, sistem ujian dinamakan sebagai Ujian Negara. Hampir berlaku untuk semua mata pelajaran, semua jenjang yang ada di Indonesia, yang berada pada satu kebijakan pemerintah pusat. - Tahun 1972-1979
Pada tahun itu, Ujian Negara ditiadakan, lalu dirubahmenjadi Ujian sekolah. Sehingga, sekolah lah yang menyelenggarakan ujian sendiri. Semuanya diserahkan kepada sekolah, sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan umum terkait dengan ujian yang akan dilaksanakan oleh pihak sekolah. - Tahun 1980-2000
Pada tahun itu, untuk mengendalikan, mengevaluasi, dan mengembangkan mutu pendidikan, Ujian sekolah diganti lagi menjadi Evaluasi Belajat Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS ini, dikembangkan perangkat ujian paralale untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan yang menyelenggarakan dan monitoring soal dilaksanakan oleh daerah masing-masing. - Tahun 2001-2004
Pada tahun itu, EBTANAS diganti lagi menjadi Ujian Akhir Nasional (UNAS). Hal yang menonjol dalam peralihan dari EBTANAS menjadi UNAS adalah dalam penentuan kelulusan siswa, yaitu ketika masih menganut sistem Ebtanas kelulusan berdasarkan nilai 2 semester raport terakhir dan nilai EBTANAS murni, sedangkan dalam kelulusan UNAS ditentukan oleh mata pelajaran secara individual. - Tahun 2005-2009
Terjadi perubahan sistem yaitu pada target wajib belajar pendidikan (SD/MI/SD-LB/MTs/SMP/SMP-LB/SMA/MA/SMK/SMA-LB) sehingga nilai kelulusan ada target minimal. - Tahun 2010 - sekarang
UNAS diganti menjadi Ujian Nasional (UN). Untuk UN tahun 2012, ada ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus UN tahap pertama. Dengan target, siswa yang melaksanakan UN dapat mencapai nilai standar minimal UN sehingga mendapatkan lulusan UN dengan baik.
Berikut diatas
adalah beberapa perubahan dari masa ke masa jati diri UN di Indonesia.Dibalik
banyaknya perubahan, semua hal tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Indonesia.Karena UN sampai saat ini menjadi faktor yang menjadi
tolak ukur keberhasilan dari suatu jenjang pendidikan, terlepas dari beberapa hal
yang menjadi kekurangan dari sistem UN tersebut.
B.
TUJUAN
UJIAN NASIONAL
Tujuan pokok penyelenggaraan ujian
nasional yaitu, untuk mengukur hasil pencapaian hasil belajar peserta didik;
untuk mengukur tingkat pendidikan pada timgkat nasional, provinsi, kabupaten
dan sekolah; untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan.
Dalam SK tersebut pasal 3 juga dikemukakan fungsi UN sebagai
berikut:
1.
Alat
pengendali mutu pendidikan secaa nasional.mwlalui penyelenggaraan UN diharapkan
mutu pendidikan nasional dapat dikendalikan. UN tidak dapat digunakan sebagai
pengelompokkan sekolah bermutu dan sekolah yang kurang bermutu, karena akan
semakin memperlebar jurang pemisah mutu sekolah yang secara nasional memang
rentang variasi mutu sekolah ini sudah sangat panjang.
2.
Mendorong
peningkatan mutu pendidikan. Penyelenggaraan UN diharapkan dapat memotivasi
kolah untu menigkatkan mutu pembelajaran dan usaha untuk mencapai hasil UN
secara optimal.
3.
Bahan
pertimbangan untuk menentukan tamat belajar dan redikat prestasi peserta didik.
UN dijadikan bahan pertimbangan penentuan kelulusan dan penentuan predikat
prestasi peserta didik. UN menjadi kriteria yang akurat dan berlaku nasional
untuk menentukan predikat dan prestasi peserta didik.
4.
Pertimbangan
dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan tinggi. Butir-butir
soal UN sudah disusun untuk mampu membedakan antar peserta didik yang telah
memenuhi standar kompetensi dengan peserta didik yang belum memenuhi standar
kompetensi. Dengan demikian akan sangat tepat bila digunakan juga untuk
mengetahui potensi calon peserta didik untuk mengikuti pembelajaran di sekolah
yang dipilihnya.
C.
POBLEMATIKA
UJIAN NASIONAL
Sebagaimana
dalam penyelenggaraan EBTANAS, maka dalam penyelenggaran UN mendapat kritikan
dari berbagai kalangan masyarakat antara lain ;
1.
Sebagian
besar anggota legislatif (DPR RI) sangat keberatan terhadap pelaksanaan UN,
karena usulan anggaran UN terlalu besar dan menghambur-hamburkan biaya.
Permasalahn ini memang bersifat administrative, tetapi justru hal ini
menunjukan bahwa konsep UN terlalu melambung dan tidak fokus, serta strategi
pelaksanaan UN yang tidak praktis. Akibatnya pos anggaran UN terlalu melebar
dan besar.
2.
Dalam
UU No 20 tahu 2003 tentang SISDIKNAS Bab XVI bagian ke satu Pasal 58 ayat 1
dijelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan, sedangkan UN dilaksanakan oleh pemerintah melalui
Direktorat jenderal Pendidikan Dasar dan Menegah. Dengan demikian UN dianggap
bertentangan Undang-Undang tersebut diatas. Pelaksanaan UN juga belum mempunyai
landasan hokum yang kuat, karena peraturan pemerintah yang mengatur hal tersebut belum ditertibkan.
3.
Sebenarnya,
keinginan Pemerintah untuk melakukan UN boleh-boleh saja dan disambut positif
oleh masyarakat, tetapi fungsinya bukan untuk menentukan kelulusan peserta
didik dari program dan atau satuan pendidikan atau juga sebagai dasar seleksi
masuk jenjang pendidikan berikutnya, melainkan untuk memperbaiki system
pendidikan dasar dan menengah secara nasional, pemetaan mutu program dan atau
satuan pendidikan, memotivasi kepala sekolah, pendidik, peserta didik dan orang
tua dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran.
4.
Sistem
konversi skor yang digunakan dalam pelaksanaan UN dianggap merugikan peserta
didik, karena memotong skor anak pandai untuk diberikan kepada peserta
didikyang kurang pandai.
Berdasarkan kritikan-kritikan tersebut, maka Merdapi dalam Endang Purwanti
mengemukakan hasil penelitiannnya tentang kegiatan-kegiatan yang perlu
dilakukan untuk penyempurnaan pelaksanaan UN, diantaranya :
1.
Dalam
penyelenggaraan UN hendaknya :
a.
Mengikutsertakan
daerah dalam penyusunan soal
b.
Biaya
ujian sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah
c.
Peningkatan
kualitas soal
d.
Peningkatan
objektivitas sistem skoring
e.
Peningkatan
keamanan soal
f.
Pengaman
dan koreksi silang antar sekolah yang setingkat
g.
Pengiriman
hasil UN segera mungkin
h.
Pemenuhan
fasilitas minimum dalam penyelenggaraan UN
2.
Diperlukan
adaya pelatihan penyusunan soal bagi guru daerah untuk meningkatkan kualitas
soal ujian.
3.
Perlunya
inovasi dalam pembelajaran dengan menggunakan berbagai media untuk meningkatkan
motivasi dan minat siswa dalam mempelajari materi yang dianggap paling sulit.
4.
Analisis
UN secara terperinci sesegera mungkin disampaikan ke ekolah agar informasi
tentang pokok bahasab atau materi yang sulit dapat diketahui pihak sekolah dan
para guru dapat mengambil strategi untuk mengatasinya.
5.
Sosialisasi
dan informasi UN perlu dilakukan seawal mungkin yang meliputi kisi-kisi ujian
(standar Kompetensi lulusan), bentuk soal ujian, proses penskoran, criteria
kelulusannya sehingga sekolah maupun siswa dapat lebih mempersiapkan diri
menghadapi UN.
6.
Pemerintah
perlumembantu fasilitas dan peralatan yang memadai dalam pelaksanaan ujian
sehingga mata pelajaran yang memerlukan media tertentu dapat dilaksanakan
sesuai dengan tujuan UN.
D. KETIDAKADILAN DALAM UJIAN NASIONAL
Ujian Nasional (UN) menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 pasal 4, dijadikan pertimbangan
untuk :
a)
Penentuan kelulusan peserta didik dari suatu
satuan pendidikan,
b)
Seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya,
c)
Pemetaan mutu satuan dan atau program
pendidikan,
d)
Akreditasi satuan pendidikan, dan
e)
Pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan
pendidikan dalam upara peningkatan mutu pendidikan.
Sebuah hal yang tidak ideal dalam dunia pendidikan. UN ternyata menyisakan
sejumlah permasalahan. Tahun lalu, seorang guru disekolah SMK di Cilegon harus
berbuat hal yang sebaiknya tidak perlu dilakukan, yaitu memukul peserta
didiknya hingga babak belur. Hal ini dilakukan karena rasa jengkel sang guru
terhadap peserta didiknya. Sudah dibantu menyelesaikan soal ujian, malah tidak
menunjukan niatan yang baik (terima kasih). Seoran guru di Cilegon tersebut
membantu peserta didiknya agar dapat lulus dengan nilai baik. Akan tetapi, cara
yang dilakukan keliru. Ia mengirimkan sejumlah jawaban soal via SMS atau
potongan kertas kecil yang dibagikan kepada peserta didik.
Mengapa pahlawan tanpa tanda jasa tersebut melakukan hal demikian? Hal ini
dikarenakan ketakutan sang guru ketika banyak peserta didiknya tidak lulus
ujian. Seorang guru dituntut sedemikian rupa agar seluruh peserta didiknya
lulus 100%. Ketika banyak peserta didik tidak lulus, ia pun akan merasa malu.
Pada akhirnya, reputasi sekolah menurun dan tahun depan sekolah tidak akan
mendapatkan peserta didik baru. Intinya, kelulusan 100% menjadi patokan baku
bagi tiap sekolah. Bahkan isu pemutasian guru dan kepala sekolah mengiringi
peristiwa ini.
UN juga meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi peserta didik. Beberapa
tahun yang lalu, sebuah Sekolah Dasar di Kebumen Jawa Tengah hanya mampu
meluluskan enam orang peserta didiknya dari 38 peserta didik. Tahun berikutnya,
sekolah tersebut tidak mampu meluluskan satu pun peserta didik. Apa yang
terjadi? Banyak anak usia produktif sekolah terpaksa tidak dapat melanjutkan
pendidikannya. Mereka banyak memilih sawah sebagai ladang belajarnya. Bahkan
dalam sebuah buku kenang- kenangan, seorang peserta didik menuliskan
cita-citanya ingin menjadi “tukang mencari rumput yang handal”. Sungguh
menyedihkan.
Sistem pendidikan Indonesia ternyata masih mengunggulkan kecerdasan
intelektual (IQ). Tidak ada sedikitpun tempat (ruang) untuk kecerdasan-kecerdasan
yang lain untuk menjadi npenentu kecerdasan seseorang. Karena itu, tidak aneh
jika sekarang banyak peserta didik yang mengalami depresi berat. Hal ini
dikarenakan mereka dianggap bodoh dan tidak mampu lagi melanjutkan sekolah
kejenjang berikutnya.
Akibat memikirkan UN dan persiapan menghadapi UN, seorang peserta didik
Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, mengalami depresi. Ia
hampir tiga minggu tidak masuk sekolah. Ketika masuk sekolah, ia hanya
menyalami beberapa guru dan teman-teman
sekelas dan kemudian pulan kerumah.
Betapa tidak, mulai awal tahun, sekolahnya mengadakan jam tambahan belajar. Setiap hari selasa dan
sabtu diadakan simulasi menghadapi UN. Bahkan, peserta didik kelas XII (III
SMA) diwajibkan mengikuti jam tambahan disekolah penuh selama dua minggu da
tidak diperkenankan pulang. Setelah itu, mereka akan menghadapi UN
sesungguhnya. Rasanya belum lepas rasa penat, mereka diwajibkan mengikuti ujian
sekolah (praktik dan teori).[1]
Pemerintah dengan sengaja membiarkan generasi muda produktif bangsa
Indonesia menjadi layu sebelum berkembang. Cita-cita besar membangun bangsa
Indonesia kandas dikarenakan sistem UN yang tidak memihak.
UN juga telah mencabut kedaulatan guru. Artinya, guru sebagai orang yang
mendidik selama sekian tahun tidak diberi kekuasaan untuk menilai peserta
didiknya. Kekuasaan dan kewenangan menyatakan peserta didik lulus atau tidak
berada ditangan pemerintah. Seorang guru yang telah bergelut lama dengan
peserta didik hanya dapat menahan kesedihan melihat banyak peserta didiknya
tidak lulus sekolah.
Guru tidak lebih seperti pekerja kasar. Mereka dipekerjakan tanpa
memperdulikan hak-haknya. Jerih payah (pendidikan) yang dilakukan selama ini
ditentuka dalam tiga hari. Ketika banyak peserta didik yang tidak lulus, mereka
akan divonis tidak mampu mengantarkan peserta didiknya menjadi insan cerdas.
Ketidakadilan UN semakin menambaha deretan persoalan pendidikan Indonesia.
kebijakan pendidikan selalu berubah ketika para pemimpinnya diganti. Belum lagi
sekolah-sekolah yang rusak dan hampir roboh, kesejahteraan guru yang
memprihatinkan, dan seterusnya.
Pemerintah sudah saatnya memikirkan hal lain yang lebih bermakna, yaitu
bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan mutu guru, memperbaiki sekolah rusak,
dan menjadikan pendidikan Indonesia lebih bermakna dari sekadar mengukurnya
dengan nilai-nilai dalam bentuk angka.
E. MENGGUGAT UJIAN NASIONAL[2]
Sebagian pemerhati dan pengamat pendidikan berpendapat bahwa sistem UN
tidak memanusiakan manusia, tidak sesuai dengan khittah pendidikan dan
mematikan daya nalar peserta didik. Peserta didik dipaksa mengikuti aturan
pemerintah yang jauh dari realitas pendidikan. Pendidikan yang merupakan sebuah
proses mulia, yang berusaha memanusiakan manusia (freire), pengangkatan manusia
muda ke taraf insani (Driyarkara), dan pemerdekaan (Romo Mangun) tidak menjadi
dasar pijakan pengambilan kebijakan pemerintah. Pemerintah lebih mementingkan
hasil daripada proses. Pemerintah merasa bangga mampu meluluskan peserta didik
dengan nilai rata-rata 5,25 daripada melihat peserta didik mandiri dan mampu
berkarya sesuai potensi yang dimiliki.
Pendek kata, UN yang telah banyak merampas
hajat hidup orang banyak. Karena tidak lulus UN, seseorang bisa minder dan
bahkan ada yang bunuh diri, sebagaimana yang terjadi di Bali dan Sragen Jawa
Tengah pada tahun 2007. Karena UN, guru dan pihak sekolah menjadi “pecundang”
dengan memberikan jawaban soal kepada peserta didiknya. Karena UN pula, kepala
sekolah dimutasi dan pensiun dini. Dan masih banyak lagi hal negatif lainnya.
Karena itu, setelah melihat realitas yang demikian pemerintah perlu memikirka
formula yang tepat bagi pengganti UN. Apabila tidak ada formula yang tepat
untuk mengganti kebijakan UN, langkah yang paling mudah adalah ditiadakannya
UN. Biarkan proses belajar mengajar di sekolah “dinilai” oleh guru yang selalu mendampingi dan
mendidiknya. Pekerjaan pemerintah sekarang adalah bagaimana menyejahterakan
guru, tanpa harus melalui prosedur yang ndakik ndakik .[3]
Dan Salah satu
kritik penting terhadap UN adalah bahwa ia tak bisa di jadikan tolak ukur
ketercapaian sasaran pendidikan oleh sedikitnya dua sebab. Pertama, assessment
seharusnya didasar kan pada system assessment autentik yang melibatkan system
assessment portofolio, dan bukan merupakan alat ukur tunggal yang diambil
sekali saja. System portofolio, selain lebih representative dan adil terhadap
prestasi sesungguhnya siswa-karena di ambil secara berkelanjutan selama siswa
masih aktif sekolah- juga sesuai dengan prinsip kecerdasan majemuk (multiple
intelligences). Selain itu, ia juga harus menggarap ketiga ranah pendidikan-
yakni bukan hanya kognitif, melainkan juga afektif (sikap), dan psikomotorik
(praktik). Kedua, materi ujian nasional selama ini tidak mencerminkan sasaran
pendidikan yang sesungguhnya, bahkan pun jika kita mangacu kepada kurikulum
nasional.
Maka baik
buruknya system pendidikan kita tidak boleh dinilai dari sekadarnilai beberapa
mata pelajaran yang di UN kan. Melainkan harus dilihat dalam prespektif yang
lebih luas. Demikian pula perbaikan yang perlu dilakukan tak boleh hanya
sebatas upaya-upaya mengejar standar nilai mata pelajaran-mata pelajaran
tersebut- betapapun tinggi nantinya standar itu dipatok-melainkan dengan
aspek-aspek yang jauh lebih kompleks. Hal ini sejalan dengan kompleksifitas
manusia itu sendiri.
Memang tak
mungkin pencapaian manusia manusia di ukur sekedar melalui aspek-aspek amat
terbatas seperti yang terkandung dalam pelajaran matematika, IPA, IPS, dan
bahasa inggris saja. Apalagi mengukurnya pun hanya menggunakan pengukuran yang
bersifat kuantitatif dan statistikal belaka. Hal ini sama sekali tidak berarti
bahwa mata pelajaran-mata pelajaran tersebut tidak penting, tapi itu semua
tidak mencukupi bagi membekali manusia-manusia Indonesia untuk hidup sejahtera.
Bahkan jika hendak bersikap lebih teliti, untuk mampu berkompetisi secara
ekonomi dengan bangsa lain di butuhkan pula kemampuan-kemampuan lain, termasuk
kreativitas, kemampuan intrapersonal dan interpersonal, leadership, integritas,
dan berbagai kemampuan dan sikap lainnya.[4]
BAB III
PENUTUP
Dalam Undang Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terdapat penjelasan
mengenai kompetensi lulusan dalam standar nasional pendidikan Indonesia. Hal
tersebut lebih diperjelas lagi dalam PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 25 ayat 4
yang menyatakan bahwa kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu
aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).
Namun realitanya, ujian nasional dari tahun ke tahun hanya mengukur satu
aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Dalam kaitannya dengan
mutu pendidikan, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Padahal,
menurut pasal 57 ayat 2 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan
pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, Benni. Agenda pendidikan Nasional.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
Anita Lie dkk. Menggugat Ujian Nasional.
Jakarta: Teraju, 2007
Arifin, Zainal. Standar Penilaian Dalam
Perspektif Standar Nasional Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya, 2009
[1] Zainal
Arifin. Standar penilaian dalam perspektif standar nasional pendidikan. PT
Remaja Rosdakarya hal 62-64
[2]
Judul sebuah buku tulisan Anita Lie terbitan Teraju, Jakarta 2007
[3] Setiawan,
Benni. Agenda pendidikan Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008 hal 146-148
[4] Anita
Lie dkk. Menggugat Ujian Nasional. Jakarta: Teraju, 2007 hal 31-33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar