• Breaking News

    Just Share... bukan bermaksud menggurui ataupun sok suci hanya ingin berbagi.....

    Test Footer

    Selasa, 15 Mei 2018

    KETIKA RAMADHAN DI SALAH PAHAMI OLEH UMAT ISLAM



    Oleh : A.Nurhono
     “Celakalah bagi seseorang, apabila namaku disebutkan disisinya sedang dia tidak mau membaca shalawat untukku (Allahumma shalli alaih), celakalah bagi seseorang yang masih mempunyai dua orang tua atau salah satu dari keduanya, sedang dia belum pernah melaksanakan hak mereka suatu amal yang menjaminnya masuk surga, dan celakalah bagi seseorang yang menjumpai bulan Puasa (Ramadhan), sampai dengan bulan puasa dia belum diampuni." Karena sesungguhnya bulan Ramadhan itu bulan rahmat (kasih sayang) dan bulan ampunan dari Allah Ta'ala, maka bilamana belum diampuni di bulan Ramadhan, tertipulah dia (HR dari Abu Hurairah ra.)       
    “Banyak diantara yang berpuasa, tetapi hasilnya hanya lapar dan dahaga saja”  ( HR. Ibnu Khuzaimah).       
    “Kita selalu sampai pada kesimpulan, ternyata penyakit utama dalam bulan Ramadhan adalah diri kita sendiri. Pernah juga manusia memperlakukan Ramadhan dengan cara yang paling hebat. Bisakah kita melakukan hal yang sama dizaman Edan           saat ini ? (Majalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, No.1,Tahun 1, Edisi “Ramadhan Bukan Biasa”) 
    Dalam bulan Ramadhan Al-Mubarak, umat Islam diseluruh dunia (tanpa terkecuali satupun) telah diperlakukan oleh Allah SWT. secara khusus sebagai “Tamu Allah” dengan berbagai jamuan yang sangat istimewa. Maka rugilah orang yang tidak mengikuti jamuan-Nya. Lebih rugi lagi, orang yang mengikuti jamuan tapi tidak menikmati hidangan-Nya. Kenapa itu bisa terjadi ? Bagaimana kenyataan, pada akhir-akhir ini umat Islam memperlakukan bulan Ramadhan ? Benarkah selama ini kita sudah sungguh-sungguh sedang dan telah “Memuliakan” bulan suci Ramadhan Al-Mubarak sebagaimana yang diajarkan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw ?
     Ada kecenderungan kuat bahwa inti kemuliaan Ramadhan yang sebenarnya, sejatinya sudah disalah artikan (mis-understanding) dan disalah gunakan (misplacement). Kesalahan dalam pemahaman dan pengetahuannya yang selanjutnya berakibat pada salah dalam penempatan dan pelaksanaannya. Ketika banyak yang merasa sudah memuliakan Ramadhan, bukan mustahil bahwa sejatinya sebenarnya belum. Kenapa ? Karena bukan mustahil yang dilakukan sesungguhnya adalah hanya “memeriahkan” Ramadhan dan bukan “memuliakan” Ramadhan. Essensi Ramadhan cenderung dikaburkan sedemikian rupa, sehingga pemahamannya ditarik kekulit yang paling luar, dan diserderhanakan dalam pengertian satu bahasa “Perayaan” sehingga hilanglah essensi dari kemuliaan Ramadhan.
     Ketika bulan Ramadhan diturunkan wahyu suci Al-Quran sebagai petunjuk hidup manusia (Al-Hudan) dan pembeda antara yang haq dengan yang bathil (Al-Furqan)(QS.Al-Baqarah, 2:185), namun dengan Al-Qur’an kita tidak pernah menyentuhnya,tidak pula membacanya, dan tidak berusaha untuk meningkatkan pemahamannya (tafakur dan tadabur), apakah itu yang disebut “memuliakan” Ramadhan ?
     Ketika kita diwajibkan berpuasa dibulan ramadhan (QS.Al-Baqarah, 2:183) karena dorongan iman dan niat yang ikhlas, tidak seperti dibulan-bulan lainnya, dimana pahalanya bisa menghapuskan dosa-dosa yang lalu laksana bayi yang baru lahir dimuka bumi (Al-Hadits), dengan tujuan ketaqwaan (La’allakum tattakuun), namun kita yang sedang berpuasa tetap saja berbuat maksiat dalam tingkah lakunya berbuat dusta, menghiba, adu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan hawa nafsu, dapatkah itu disebut “memuliakan” Ramadhan ?
    Ketika pada bulan Ramadhan, malam-malam 10 terakhirnya diturunkan “Lailatul Qadar” dan yang menegakkan sholat malam (Taraweh)selama Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala yang dapat menghapuskan dosa-dosanya yang lalu (Al-Hadits), namun jika pada bulan itu dia tidak menambah mutu/kualitas dan jumlah shalatnya, qiyamul lail-nya, tidak membanyak infaq shadaqah dan zakatnya, serta tidak meningkatkan kesucian jiwa, perbuatan dan akhlaqnya (tazkiyatul nafs, tazkiyatul amal dan tazkiyatul amwal), maka dapatkah perbuatan itu semua dapat disebut sebagai “memuliakan” bulan suci Ramadhan ?
     Ssesungguhnya itu semuanya bukanlah memuliakan Ramadhan. Yang dilakukan sesungguhnya adalah “Memeriahkan” bukan “Memuliakan”. Kita melihat Ramadhan hanya sebatas bulan yang berisikan hitungan hari. Semuanya cenderung diproyeksikan sebagai “Perayaan Agama”. Perayaan berarti kemeriahan. Sekarang pada masyarakat kita, ada kecenderungan kuat kita terjebak pada gebyar kemeriahan, media dan telivisi kita berlomba menampilkan itu dalam bermacam-macam acara. Ramadhan diseret pada kepentingan pasar, dijadikan salah satu “tema” dalam bisnis kehidupan, bersanding dengan tema-tema lainnya seperti Tahun baru, Imlek atau Natal.
     Ya Ramadhan dijual. Selama sebulan, Ramadhan dan Iedhul Fitri dijadikan tema. Sinetron bertema Ramadhan, Lagu-lagu bertema Ramadhan, busana-busan bertemakan Ramadhan. Iklan-iklan bertema Ramadhan, mal-mal didesain dengan tema Ramadhan. Dan tidak ketinggalan, acar “ghibah” infotainment juga menyoroti kehidupan artis seputar aktifitas mereka selama Ramadhan.
     Ramadhan dijadikan komiditi. Ramadhan dijadikan obyek bisnis. Semua hal tentang Ramadhan dan Iedul Fitri diekspoitasi tanpa ilmu dan ruh. Bahkan beberapa tahun yang lalu distasiun televise ada program acara dangdut menyambut Iedul Fitri, dengan tema “Goyang Kemenangan”. Setelah selesai, mereka tinggalkan ramadhan begitu saja, dan bersiap ke tema lain, Tema Natal dan tahun baru.
     Beginilah wajah Ramadhan kiat dibikin. Semuanya hanya untuk memeriahkan momen selama sebulan. Ramadhan dipahami sebatas “bulan” secara materi. Makna Ramadhan dipangkas habis menjadi sebatas pesta. Ramadhan yang harus dimuliakan dengan ibadah yang “khusyu” untuk merapatkan diri kepada kesucian Ilahi, diisi dengan kuis-kuis agama, banyolan-banyolan yang kadang bermuatan porno/jorok, ketawa-ketiwi sepanjang sahur dan menjelang berbuka. Anehnya yang seperti ini lah yang konon kabarnya paling disukai oleh kaum Muslimin Indonesia. Mudah2an anggapan itu tidak mewakili kondisi aktual umat Islam Indonesia yang sesungguhnya.
     Kajian-kajian yang setiap sahur atau berbuka yang seharusnya diisi oleh ulama dan usatz yang otoritatip dan mumpuni dalam ilmunya, perlahan-lahan digeser oleh acara quiz dan canda tawa. Dulu acara santapan ruhani diselingi dengan kuis. Kemudian porsinya terbalik, acara quis diselingi dengan ceramah. Ustad dan ulama yang dulu pengisi utama acara sekarang menjadi pelengkap. Ustad dan ulama tidak diperlukan, tetapi tetap harus ada sekedarnya untuk menjaga nuansa Ramadhan. Itupun diganti dengan ustad “Gaul” dan “Kocak”. Bukan ustad dan ulama yang berilmu dan mumpuni dalam memberi tuntuntutan. Untuk tahun ini, kita lihat saja apakah masih juga seperti tahun-tahun yang lalu yang semakin jauh dalam memuliakan Ramadhan yang sesungguhnya.
     Sejatinya, inilah pendangkalan sistimatis pemahaman masyarakat terhadap Ramadhan. Kita cenderung disibukkan dengan “Kemeriahan” dan lupa atau “kehilangan adab” (The Loss of Adab) bagaimana seharusnya memuliakan bulan suci Ramadhan. Kegiatan Ramadhan kita seolah-olah semarak, tetapi ibadah kita belepotan. Orang dibangun imagenya dengan pemahaman makna Ramadhan dengan seorang artis, orang menanyakan semaraknya Ramadhan di rumah tangga pasangan yang berbeda agama, orang bertanya makna Ramadhan pada seorang selebritis yang mendadak pakai jilbab dan terbuka lagi setelah Ramadhan usai. Pendapat-pendapat merekalah yang mewakili wajah ramadhan kita, dimasyarakat, di-kota-kota, di desa-desa, diseluruh pelosok negeri, televisi telah menyampaikannya. Dan selama itu kita telah meninggalkan ulama. Kita tidak lagi menanyakan makna kemuliaan Ramadhan pada Ulama yang otoritatip dan mumpuni dalam bidangnya, pewaris para Nabi, ilmu-ilmu hikmah yang bersumber dari wahyu Allah SWT.
     Singkatnya pemahaman dan pengetahuan umat telah mengalami kerancuan/kontaminasi pemikiran (confusion intellectual) dan kekeliruan (mis understanding) tentang hakekat tujuan puasa yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai “Khalifatullah fil ardh” (wakil Allah dimuka bumi) yang bertugas untuk memakmurkan bumi, sehingga tidak bisa lagi menempatkan secara proporsional kemuliaan Ramadhan secara benar.
    Inilah yang jika meminjam thesis nya Prof.Al-Attas, ber-Ramadhan yang semakin tidak beradab. Adab dalam hal ini didefinisikan sebagai “Disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan rohaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darjah)” (Adab is the discipline of body, mind and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s the recognition and acknowledgement of reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various levels(maratib) and degrees(darajat) place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials; dalam “The concept of education in Islam, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, ISTAC, 1999”).
     Yang dimaksud “Pengenalan” dalam definisi diatas adalah mengetahui kembali (re-cognize) perjanjian pertama (primordial Covenant) antara manusia dan Tuhan (Lihat QS. Al-A’raf,7 : 172:
    Artinya : "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"" Mereka menjawab: ""Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi"". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ""Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS.Al-A'raf, 7: 172).
    Ini juga menunjukkan bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing dalam berbagai hirarki wujud, hanya saja disebabkan oleh “Kebodohan” dan “kesombongan”nya, maka manusia kemudian merubah tempat-tempat tersebut sehingga terjadilah ketidak adilan. Sedangkan “Pengakuan” yang dimaksudkan adalah melakukan sesuatu yang sesuai dengan apa yang telah dikenal diatas. Artinya manusia melakukan “afirmasi” dan “konfirmasi” atau realisasi dan aktualisasi dalam diri manusia yang dikenal itu. Dalam pengertian praktis dapat diturunkan pemahamannya bahwa ketika umat Islam tidak mempunyai adab yang tepat secara intelektual, emosional dan spiritual, maka kemuliaan Ranmadhan-pun akan sulit sekali diraih oleh manusia yang berpuasa.
     Dalam konteks praktis, pemahaman adab adalah tindakan yang benar (right) bersemi dari disiplin diri. Hal ini haruslah dibangun diatas pengetahuan yang bersumber pada kebijaksanaan (hikmah). Orang yang beradab ialah orang yang mengenal dan mengetahui kedudukan sesuatu dan mampu bersikap secara benar terhadap sesuatu tersebut berlandaskan ilmu yang benar pula. Orang yang beradab mengetahui bahwa berbohong itu salah maka ia meninggalkannya; orang yang beradab mengetahui bahwa berlaku KKN adalah tindakan yang tercela maka ia tidak melakukannya; orang yang beradab mengetahui bahwa ala mini adalah ciptaan Allah swt. Maka ia menjaga dan menghormatinya; dan orang yang beradab mengetahui apa yang dilakukannya terhadap apa yang dikenalnya melalui ilmu (Lihat Buku "Membangun Peradaban dengan ilmu," Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi, Penerbit Kalam Indonesia, 2010).
     Untuk memahami adab, dibutuhkan pemahaman mengenai makna dan pengetahuan. Prof. Dr. Naquib al-Attas mendefinisikan “makna” sebagai pengenalan yang tepat dan benar atas tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem. Tempat yang benar bagi segala sesuatu ini tampak jelas ketika sesuatu itu berhubungan dengan sesuatu yang lain dalam sebuah sistem. Sistim disini merujuk kepada sistem konseptual Qur’ani atau lebih dikenal dengan sebutan “Islamic worldview” (Pandangn Hidup Islam).
     Pengetahuan akan “Kemuliaan Ramadhan” didefinisikan dengan tibanya makna kedalam jiwa serta tibanya jiwa pada makna. Dan hal ini merupakan pengenalan akan tempat segala sesuatu yang tepat dalam tatanan penciptaan, yang menghantarkan pada pengenalan tempat Tuhan yang tepat dlam tatanan wujud (being) dan eksistensi. Ketika seorang melakukan tinadakan yang benar dan sesuai dengan pengetahuan yang benar, maka akan terciptalah harmoni. Keselarasan antara tindakan individu dengan fitrah yang diciptakan Allah swt. Inilah yang dinamakan adil, yaitu sebuah kondisi harmonis dari segala hal (baik fisik, sosial, maupun metafisika) karena berada ditempat yang benar (Justice itsels is a reflection of wisdom/hikmah defined as God given knowledge which enables the recipient to discover the right and proper place for a thing or a being to be). The condition of being in the proper place is called adab; and adab is the method of knowing by which we actualized the condition of being in the proper place. In this definition, adab is also a reflection of wisdom.hikmah, and with respect to society, adab concisely defined, is the spectacle/”mashhad” of justice as it reflected by wisdom, Prof. Naquib Al-Attas).
     Sebaliknya, berlawanan dari manusia yang beradab, akibat dari kebodohan, kesombongan dan kezaliman manusia, maka umat dalam framework pemikirannya telah meletakan pemahaman akan “kemuliaan Ramadhan” tidak pada tempatnya secara tepat dan benar. Sehingga berakibat tujuan dan makna puasa Ramadhanpun menjadi tidak dapat tercapai dengan baik. Akibat lebih jauh lagi terjadinya hilangnya adab (the loss of adab), dimana ini dipahami sebagai “Definisi yang autentik tentang “kemuliaan Ramadhan” menjadi hancur, dan sebagai penggantinya kita mewarisi slogan yang kabur yang berkedok konsep. Ketidak mampuan untuk mendefinisikan, mengidentifikasikan dan mengangkat masalah, dan memberikan solusi yang tepat, telah memunculkan problem yang semu, reduksi masalah hanya sebatas faktor-faktor duniawi saja yang sudah menjadi kenyataan dalam memahami makna Ramadhan. Tidak mengherankan jika situasi semacam ini semakin dapat menyuburkan tumbuhnya berbagai bentuk pandangan hidup sekularistik (Secularistic Worldview) yang modal utamanya adalah sekali lagi adalah kebodohan dan kesombongan manusia.
     Percaya atau tidak, jika kita melihat fenomena kehidupan umat Islam Indonesia dalam ber-Ramadhan, semakin terlihat kecenderung menjalaninya dengan irama yang tidak berubah secara spiritual dari tahun ke tahun. Dalam setiap Ramadhan, kita cenderung tidak bisa menangkap kemuliaannya, karena memang kita tidak terlibat didalam kemuliaan itu. Ibarat sebuah acara seminar, dalam Ramadhan kita selalu menjadi panitia. Anda tahu betapa sibuknya seorang panitia seminar ? Sibuk sekali. Pada hari H, pekerjaannya tidak berkurang, malah bertambah sibuk. Setelah seminar selesai, peserta pulang dengan membawa wawasan baru, perspektip baru dan idea baru dari hasil seminar itu. Sedangkan panitia membawa puloang lelah. Bahkan dia tidak sempat mendengar sedikitpun isi pembicaraan dari seminar besar yang telah dia selenggarakan. Tapi kepuasan bagi seorang panitia adalah ketika dia bisa menyelenggarakan acara dengan sukses, dia bisa melayani orang dengan baik. Isi seminar, baginya tidaklah penting.
     Demikianlah analognya, pada umat Islam dalam ber-ramadhan cenderung seperti menjadi panitia. Maka akan hanya sibuk membuat kue, membeli makanan buka dan sahur, membeli baju dan busana lebaran, sibuk mencari tiket untu pulang kampong (kabarnya dengan sistin Online, baru satu hari puasa Ramadhan 1431H, tiket kereta api mudik sudah habis terjual) dan mempersiapkan perjalanan mudik sekeluarga. Taraweh, bangun tengah malam, infaq dan shadaqah, membaca Al-qur’an dengan tadarus, tafakur dan tadabur, bukanlah prioritas utama kegiatan. Kalau ada waktu sisa, boleh sekali-sekala dilakukan. Setiap tahun cenderung dilewatkan begitu saja momentum suci yang sangat berharga karena sibuk dengan urusan “Kemeriahan Ramadhan” yang bersifat material.
     Setelah itu kita merasa puas, karena tamu-tamu yang datang memuji rasa kue kita, mengomnetari busana Iedhul Fitri kita yang serasi, dan kita cukup puas karena perjalanan mudik kita lancar dan tidak macet. Kita puas, karena keluarga kita merayakan kemeriahan ini dengan penuh suka cita. TETAPI, kita tidak merasa perlu introspeksi, mengechek ulang, apakah tujuan hakekat Ramadhan untuk meraih manusia taqwa- “La’alakum tattakum” telah tercapai, apanya nilai-nilai Ramadhan yang masih tersisa ditangan dan hati kita. Begitu pula dengan Ramadhan berikutnya dan berikutnya, tetap sama saja.
     Jika sebagaimana digambarkan diatas muatan kualitas dan kuantitas ibadah Ramadhan umat Islam sudah mengalami miskonsepsi tentang “kemuliaan ramadhan” ,maka bukan mustahil akan masuk dalam kategori puasa yang “TIDAK” mendapatkan ampunan dari Allah SWT., sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah saw. ketika baginda bersabda,
     “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun hasil puasanya hanya lapar dan dahaga (HR. Ibnu Khuzaimah) ; Berapa banyak orang yang menegakkan sholat malam, namun hanya bagaikan orang yang menjaga malam saja (Al-Hadits).
     Bahkan Rasulullah saw, memberikan peringatan kerasnya dengan bersabda,
    “Celakalah bagi seseorang, apabila namaku disebutkan disisinya sedang dia tidak mau membaca shalawat untukku (Allahumma shalli alaih), celakalah bagi seseorang yang masih mempunyai dua orang tua atau salah satu dari keduanya, sedang dia belum penah melaksanakan hak mereka suatu amal yang menjaminnya masuk surga, dan celakalah bagi seseorang yang menjumpai bulan Puasa (Ramadhan), sampai dengan bulan puasa dia belum diampuni." Karena sesungguhnya bulan Ramadhan itu bulan rahmat (kasih sayang) dan bulan ampunan dari Allah Ta'ala, maka bilamana belum diampuni di bulan Ramadhan, tertipulah dia (HR dari Abu Hurairah ra.)
    Ibadah Puasanya terhapus pahalanya karena ia telah melakukan 5 perkara yang terlarang oleh Allah SWT , sebagimana diriwayatkan oleh Annas ra  dari Nabi Muhammad saw : “ Lima perkara yang menghapuskan puasa artinya menghapuskan pahalanya, yaitu : dusta, menghiba, adu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan hawa nafsu”. “Puasa itu perisai, maka apabila salah seorang diantara kamu berpuasa, janganlah ia menuturkan kata-kata yang keji dan janganlah ia mengingar bingarkan, jika ada ada seseorang memarahi atau memukulnya hendaklah ia mengatakan, “Saya sedang berpuasa”(HR.Muslim).
     Ketika umat mengalami “keruntuhan adab” (Loss of Adab), “kerancuan pemikiran” (confusion intellectual) dan kesalah pahaman (mis understanding) akan hakekat “Kemuliaan Ramadhan”, sejatinya adalah bersumber dari pandangan hidup (worldview) umat Islam yang tidak diisi dengan pengetahuan dari wahyu Allah-Al-Qur’an (“Reveal Knowledge” ) dan pengetahuan hikmah kenabian-As-Sunnah (Prophitic wisdom and knowledge) yang diajarkan dari para ulama otoritatip pewaris Nabi yang mumpumi. Ini adalah akibat umat semakin meninggalkan dan menjauhi ulama pewaris nabi yang tawadhu dan kharismatik. Inilah sesungguhnya tanda-tanda zaman yang diingatkan oleh Rasulullah saw dalam hadits nya tentang “Ulama tidak dipedulikan” :  
    “Dari Sahl bin Saad as-Sa’di r.a berkata : Rasulullah saw bersabda : “Ya Allah! Janganlah pertemukan aku dan mudah-mudahan kamu (sahabat) tidak bertemu dengan zaman dikala para ulama sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang penyantun sudah tidak dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam (pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya) (HR.Ahmad).
     Sebagai renungan penutup, perlu dipahami bahwa jika kondisi umat Islam berada dalam posisi seperti gambaran diatas dibiarkan dan tidak ada yang melakukan dakwah “Amar ma’ruf Nahy Munkar “ maka bukan mustahil umat dapat menjadi penghuni neraka sebagaimana diinformasikan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an surah Al-A’raf ayat 179 dibawah ini :
     وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ 

     Artinnya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”(QS.Al-A’raf, 7:179).

    “Ya Allah, Tuhan yang Maha Rahman dan Maha Rahim, jadikan puasa kami di bulan Ramadhan ibadah puasa yang benar karena dasar iman dan semata-mata mengharapkan ridho-Mu Ya Allah. Dan jadikan ibadah shalat malam kami termasuk ibadah yang dapat menghapiskan dosa-dosa kami yang lalu. Ya Allah, “Ampuni dosa-dosa kami, Ma’afkan segala kesalahan kami, Masukan kami dalam surga-Mu dan bebaskan kami dari siksaan api neraka. "Ya Allah terimalah amal ibadah Ramadhan kami iniSesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi  Maha Mengetahui ", Amin 3X, Ya Rabbal Alamin.


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Beauty

    Fashion

    Flag Counter

    Test Footer

    Travel